Filosofi pendidikan
pendidikan bisa saja dari sebelum bayi lahir seperti dilakukan banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum lahir.
Bagi sebagian orang, pengalam kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajar anggota keluarga berjalan secara tidak resmi
Fungsi pendidikan
Menurut horton dan hurt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes). mempesiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, fungsi latin lembaga sebagai wadah pendidikan, melalui pendidikan di sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
Sekolah memeliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkan di masyarakat. hal ini tercermin dengan daya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese dan status yang ada di dalam masyarakat. Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
pendidikan bisa saja dari sebelum bayi lahir seperti dilakukan banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum lahir.
Bagi sebagian orang, pengalam kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajar anggota keluarga berjalan secara tidak resmi
Fungsi pendidikan
Menurut horton dan hurt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes). mempesiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, fungsi latin lembaga sebagai wadah pendidikan, melalui pendidikan di sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
Sekolah memeliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkan di masyarakat. hal ini tercermin dengan daya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese dan status yang ada di dalam masyarakat. Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
Inovasi
pendidikan
Inovasi pendidikan perlu dilakukan mengingat pendidikan akan mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini pembaruan teori dalam
pendidikan.
Manfaat
Pembaharuan Teori terhadap Pendidikan
Dengan berbagai perubahan penggunaan
dasar teori giftedness, maka dampaknya adalah perubahan cara
pendeteksian, pendiagnosisan, pengasuhan, dan pendidikan anak-anak cerdas
istimewa. Namun pembaharuan dan perubahan ini memerlukan kesepakatan baik dalam
tataran perguruan tinggi yang menjadi pusat pengembangan ilmiah, maupun dalam
tataran praktikal di lapangan yang didukung oleh peraturan pemerintah. Tanpa
adanya pembaharuan dan perubahan secara nasional, maka penanganan anak-anak
cerdas istimewa Indonesia hanyalah akan bersifat sporadis, debat panas dan
kontroversial akan tetap terus berlangsung. Hal ini hanya akan merugikan anak
didik karena tak terpenuhinya tumbuh kembang anak dan pendidikan yang mendukung
kebutuhannya. Dunia pendidikan Indonesia pun akan senantiasa tertinggal dari
metoda dan tingkat mutu pendidikan secara mainstream internasional.
Dalam kelas reguler/inklusi dan kurikulum berdiferensiasi
Dalam laporan penelitian tiga bagian
yang salah satunya adalah penelitian metateori yang dilakukan oleh T.Mooij dkk
(2007) dari Centrum voor Begaafheid Onderzoek (pusat penelitian giftedness)
Universitas Nijmegen – Belanda, memperlihatkan bahwa trend pendidikan anak
cerdas istimewa secara mainstream kini lebih menyadari bahwa pendidikan
untuk berbagai kelompok gifted ini lebih baik berada dalam sekolah atau
kelas-kelas reguler bersama dengan anak-anak usia sebayanya. Hal ini
dimaksudkan agar anak-anak ini dapat melakukan kontak yang baik dengan peer
grup atau sebayanya, guna pengembangan sosial emosional yang tepat yaitu
pengembangan self-esteem yang baik serta self-concepts yang
realistis.12 Disamping itu, anak-anak ini juga membutuhkan metoda tersendiri
terutama ditujukan pada aktualisasi prestasi dengan pendekatan multitalenta
(lihat teori multifaktor dari Kurt Heller), maka dalam kelas-kelas reguler
kepadanya diperlukan kurikulum yang sesuai dengan level masing-masing serta
adanya kurikulum berdiferensiasi. Bentuk sekolah atau kelas reguler yang
menerima beragam keunikan anak, dan memberikan tawaran pedidikan sesuai dengan
keunikan anak didik, disebut sebagai kelas atau sekolah inklusi.
Beragam kelas atau sekolah inklusi
yang banyak dikembangkan oleh berbagai negara mempunyai beberapa keragaman.
Sebagai misal, Norwegia yang telah memulai pendidikan melalui kelas inklusi
sejak adanya reformasi
pendidikan tahun 1994 yang meletakkan
anak-anak gifted bersama beragam anak-anak berkebutuhan khusus lainnya
seperti anak berkecerdasan kurang dan terbatas, cacat fisik primer, dan
anak-anak normal. (Bentuk seperti ini biasa disebut full-inclusion).
Bentuk sekolah atau kelas inklusi seperti ini membutuhkan tawaran pendidikan
dengan banyak level atau komptensi. Namun negara Belanda meletakkan anak gifted
dalam sekolah inklusi yang terbatas bersama 4 kelompok lainnya yaitu:
penyandang ADHD, Autisme, learning disabilities dan anak normal. Berbeda dengan
model yang dikembangkan oleh Norwegia, dalam Undang-undang pendidikan Belanda,
sekolah reguler sebagai sekolah inklusi hanya menerima anak berkecerdasan
normal ke atas, dan tidak bergangguan cacat primer. Bentuk sekolah seperti ini
telah berdiri sejak tahun 1990 dengan nama program We Zijn Weer Samen Naar
School atau Kita Kembali Sekolah Bersama-sama. Nama seperti ini diberikan
karena semula anakanak berkebutuhan khusus tersebut dipisah diletakkan di
sekolah-sekolah khusus. Bentuk pendidikan di Belanda kini lebih kepada
pendekatan sistem kompetensi atau level, dibagi dalam 3 kompetensi, yaitu
kompetensi atas, rata-rata, dan bawah. Dan juga lebih kepada pendekatan
pendidikan yang adaptif (adaptive education), dimana materi
pendidikan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi murid (Mönks
& Pflüger, 2005, Dodde & Luene,1995 ) Maksud diadakan kurikulum
berdiferensiasi bagi anak-anak gifted ini adalah (Mooij, 2007):
- meningkatkan motivasi belajar anak didik
- menghindari kebosanan dalam menempuh pelajaran
- agar perkembangan anak menjadi lebih baik
Diferensiasi kurikulum bagi anak gifted dapat dibagi
dalam 4 bentuk (Mooij dkk,
2007):
- Pengkayaan (enrichment): yaitu berupa tawaran ekstra materi pelajaran yang dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan.
- Pemadatan atau pemampatan (compacting): yaitu berupa pemampatan materi pelajaran reguler. Atau dengan kata lain bahwa pelajaran yang diberikan tidak perlu dilakukan pengulangan-pengulangan yang memang diperlukan sebagai latihan bagi anak-anak normal13.
- Paruh waktu (part-time) dalam kelompok-plus atau kelas-plus (pull-out): dimana dalam kelompok/kelas itu diadakan ekstra aktivitas atau program yang menantang khusus untuk anak-anak gifted. Kegiatan dalam kelompok/kelas plus ini dilakukan beberapa jam dalam satu minggu. Bila anak-anak gifted tersebut membutuhkan kegiatan yang menantang guna memenuhi kebutuhan keberbakatannya, ia dapat sementara waktu keluar dari kelasnya (pull-out), masuk ke dalam kelompok-plus atau kelas-plus tersebut, bersama-sama dengan anakanak gifted lainnya dalam berbagai usia mengerjakan berbagai proyek yang diminatinya. Kelas-kelas seperti ini sering juga disebut Kangaroo-class.
- Percepatan (acceleration): yaitu berupa lompat kelas (Class skipping). Namun percepatan ini membutuhkan beberapa pertimbangan berupa:
- kematangan sosial emosional
- kapasitas intelektual
- prestasi
- adanya lompatan perkembangan didaktik
- persetujuan orang tua
- penerimaan guru
Perlu psychoeducational assessment dan diagnostic
Dari penelitian-penelitian yang
dilakukan menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya, terutama di sekolah dasar dan
taman kanak-kanak, anak-anak gifted itu tidak bisa mendapatkan program
pengembangan keberbakatan yang sama antara satu anak dengan anak lainnya. Hal
ini selain disebabkan karena tumbuh kembang mereka sangat beragam yang umumnya
masih sangat krusial, disamping juga kekuatan kemampuan atau bakat anak dari
satu anak ke anak lain akan berbeda-beda. Diantara mereka masih banyak yang
membutuhkan terapi remedial terutama di bagian perkembangan bahasa &
bicara, perkembangan sosial emosional, dan perkembangan motorik halus. Karena
itu program diberikan sefleksibel mungkin ke dua arah sekaligus, terhadap
berbagai kekurangan melalui program remedial dan juga ke arah pengembangan
keberbakatannya. Setiap anak yang membutuhkan perhatian khusus akan mendapatkan
IEP (individual education program) yang dievaluasi dan dilakukan
pembaharuan program setiap satu semester. Untuk ini semua, si anak memerlukan psychoeducational
assessment and diagnostic, agar bisa ditentukan bentuk-bentuk intervensi
apa yang cocok untuknya serta bentuk program pengembangan keberbakatan yang
bagaimana yang cocok untuknya. Program akselerasi hanya diberikan kepada mereka
yang memang mampu meraih prestasi yang sangat baik, mempunyai perkembangan
sosial emsoional yang memadai jika diberikan akselerasi berupa lompat kelas,
dan mempunyai perkembangan kemampuan didaktif yang memang sangat baik (Hoogeven
dkk, 2004; Mooij dkk, 2007)14. Psychoeducational Assessment dan diagnostic
seperti yang dibutuhkan seperti ini memang belum banyak dipelajari di
Indonesia, karena itu orang tua sangat kesulitan untuk mencari sekolah yang
memang menyediakan atau mempunyai jejaring dengan pusat pelayanan psychoeducational
tersebut.
Mengutamakan keharmonisan tumbuh kembang
Dunia pendidikan masa kini adalah
pendidikan yang meletakkan dasar-dasar keharmonisan tumbuh kembang. Pendekatan
ini bukan hanya ditujukan bagi anakanak yang mengalami tumbuh kembang yang
berbeda tetapi juga anak-anak yang mempunyai perkembangan yang sesuai dengan
patokan tumbuh kembangnya. Terlebih kepada anak-anak gifted, yang
mempunyai pola alamiah tumbuh kembang berbeda dengan anak-anak sebayanya, maka
mau tidak mau pendidikan anak-anak gifted terutama di usia muda seperti di
taman kanak-kanak dan sekolah dasar, selayaknyalah jika keharmonisan tumbuh kembangnya
justru menjadi perhatian utama. Karenanya lingkungan belajar sejak di usia dini
dan sekolah dasar harus mampu memberikan tawaran pendidikan yang cukup sesuai
dengan tingkatan perkembangannya.
Dari berbagai penelitian untuk
melihat seberapa jauh sudah tawaran pendidikan yang diberikan kepada siswa-siwa
gifted, menunjukkan bahwa (Mooij, 2007):
- Anak-anak gifted yang mendapatkan pendidikan dalam sekolah khusus atau kelas khusus akan menunjukkan prestasi pendidikan dan pengembangan kognitif yang baik, tetapi mempunyai self-concepts atau persepsi terhadap diri sendiri yang rendah.
- Program percepatan hanya dapat diberikan kepada anak-anak gifted yang memang sudah mempunyai fungsi yang baik (secara kognitif, prestasi, dan sosial emosional).
- Dalam program pengkayaan (enrichment), berbagai mata ajaran harus dikuasai terlebih dahulu, artinya kepada anak-anak gifted ini diperlukan program compacting mata ajaran reguler. Hal ini dimaksudkan agar dalam program pengkayaan dimana si anak melakukan pendalaman dan perluasan, ia sudah menguasai dasar-dasar teori terlebih dahulu.
- Sejak dini sekali anak-anak gifted memerlukan pendidikan yang sefleksibel mungkin, individual, dukungan yang terus menerus secara pedagogis, sosial, emosional, kognitif, pengorganisasian proses pembelajaran, serta evaluasi dan pemantauan efek program yang diberikan kepadanya.
- Umumnya sekolah-sekolah dalam memberikan program layanan kepada anak-anak gifted, lebih mendahulukan mata ajaran matematika (dan science) daripada pelajaran yang lebih mengutamakan bahasa. Karenanya justru seringkali akan memunculkan underachiever (prestasi rendah). Karena itu program berkemampuan bahasa juga perlu diberikan.
Permasalahan Pendidikan
Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa
Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi
untuk berbenah diri. Banyaknya permasalahan pendidikan yang muncul ke
permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita :
1. Kurikulum
Kurikulum kita yang dalam jangka
waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap
saja. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan
formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang
terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya
bukunya. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi
kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh
kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap
kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan
yang kita tempuh
2. Biaya
Banyak masyarakat yang memiliki persepsi
pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak
pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas
konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti
diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri
seolah membiarkan saja dan lepas tangan. Apa mereka sudah mengenyam
pendidikan?? Akhir-akhir ini pemerintah dalam sistem pendidikan yang baru akan
membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan
jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan
akademik dan finansial siswa. Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar
terjadi.
3. Tujuan pendidikan
Katanya pendidikan itu mencerdaskan,
tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya
diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang
dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat
ataupun pejabat-pejabat).
4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang
DPR RI telah mensahkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Namun,
disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang
khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia
pendidikan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU
BHP. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan
dalam jangka panjang.
5. Kontoversi diselenggaraknnya UN
Kedua, aspek yuridis. UN hanya
mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan
secara sepihak oleh pemerintah. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan,
pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan
evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang
diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada
tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun
2004/2005. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan
finansial dana UN.
6. Kerusakan Fasilitas
sekolah Nanang Fatah, pakar
pendidikan Universitas pendidika indonesia (UPI) mengatakan, sekitar 60 persen
bangunan sekolah di Indonesia rusak berat. Di wilayah Jabar, sekolah yang rusak
mencapai 50 persen. Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia
bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun
2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank
Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.
Mutu Pendidikan
Pemahaman dan pandangan tentang mutu
pendidikan selama ini sangat beragam. Orangtua memandang pendidikan yang
bermutu sebagai lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan
genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah, dan seterusnya. Para
ilmuwan memandang pendidikan bermutu sebagai sekolah yang siswanya banyak
menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di tingkat nasional,
regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai pandangan yang berbeda
lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberikan mata pelajaran bahasa
asing bagi anak-anaknya. Orang kaya tentu memiliki pandangan yang berbeda pula.
Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diperoleh anaknya dengan
membayar uang sekolah yang setinggi langit untuk memperoleh berbagai paket
kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan sekolah telah
lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, kelas unggulan.
Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga muncul bak jamur di
musim penghujan, seperti boarding school, full day school,
sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam, dan sekolah berwawasan
internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk menunjukkan aspek
mutu pendidikan yang akan diraihnya.
Lalu, bagaimana sesungguhnya
pendidikan yang bermutu tersebut? Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan
secara sekilas tentang pandangan UNESCO tentang beberapa dimensi
mutu pendidikan. Uraian tentang dimensi mutu
pendidikan itu tertuang dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005
atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan Untuk Semua. Setiap tahun, UNESCO
menerbitkan laporan tentang perkembangan pendidikan, baik pendidikan formal dan
pendidikan informal, di berbagai belahan dunia.
Dalam bentuk diagramtis dimensi mutu
pendidikan digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan diagram tersebut, tampak bahwa setidaknya ada
lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan.
Pertama, karakteristik pembelajar (learner
characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai
masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam
teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik
atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude),
kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk
bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior
knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning)
terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta didik yang
sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah
yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang
berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home),
kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya.
Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.
Kedua, pengupayaan masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan
mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan
sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga
kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang
akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar
mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar,
seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning
materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah,
termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan
fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang
digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical
infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang
tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang
sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
Ketiga, proses belajar-mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut
sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam
ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu
dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta
didik, siapa yang akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan
tanpa kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses
belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas,
menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas
proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode
mengajar yang digunakan, (3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi
peserta didik, dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas.
Ruang kelas di Indonesia sangat
kering dengan media dan alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd.
sering menyebutkan bahwa ruang kelas kita ibarat menjadi penjara bagi
anak-anak. Jika diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas,
maka bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut.
Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini. Proses
belajar mengajar di ruang kelas kita sangat kering dari penggunaan teknik penguatan
(reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga yang
menyenangkan. Dampaknya, dapat diterka, yaitu hasil belajar yang belum memenuhi
standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses belajar
mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni kualifikasi dan
kompetensi guru. Setengah guru kita belum memenuhi standar kualifikasi. Apalagi
dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak layak’. Belum lagi
dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa semua
masalah bersumber dari masalah kesejahteraan. Memang, kesejahteraan guru
menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai profesi, selain (1)
memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan,
(3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi profesi, (5)
keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai (Suparlan, 2006).
Keempat, hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang
diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari
pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan
lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan
ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang
siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam
memberikan pelatihan.
Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy),
berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills) Ini
memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan
emosional dan sosial (emotional dan social intelligences),
nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam kecerdasan,
Howard Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan paling penting
untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling
cocok dengan bakatnya” (Daniel Goleman, 2002: 49, dalam Suparlan, 2004: 39).
Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya,
sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya,
di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk
memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. Dalam
perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head,
heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang mengingatkan bahwa “Dari pohon
rambutan jangan diminta berbuah mangga, tapi jadikanlah setiap pohon mangga itu
menghasilkan buah mangga yang manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua itu pada
dadarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional “…. berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3 UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Kelima, konteks (contexts) atau lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan
tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau
lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial,
ekonomi, dan budaya, sebagai berikut:
- Economics and labour market conditions in the community atau kondisi pasar ekonomi dan pasar dalam masyarakat.
- Socio-cultural and religious factors atau faktor religius dan sosip-kultural.
- Educational knowledge and support infrastructure atau pengetahuan dan infrastruktur yang mendukung dunia pendidikan.
- PUBLIC RESOURCES AVAILABLE FOR EDUCATION atau ketersediaan sumber-sumber masyarakat untuk pendidikan.
- Competitiveness of the teaching profession on the labour market atau daya saing profesi mengajar pada pasar tenaga kerja.
- National governance and management strategies atau strategi manajemen dan tata kelola pemerintahan.
- Philosophical standpoint of teacher and learner atau pandangan filosofis guru dan peserta didik.
- Peer effects atau pengaruh teman sebaya.
- PARENTAL SUPPORT atau dukungan orangtua atau keluarga.
- Time available for schooling and home works atau ketersediaan waktu untuk sekolah dan PR.
- National standards atau standar-standar nasional.
- PUBLIC EXPECTATIONS atau harapan masyarakat.
- Labour market demands permintaan pasar tenaga kerja.
- Globalization atau globalisasi.
Pada awalnya, peran orangtua (rumah)
dan keluarga belum dipandang sebagai dimensi yang benar-benar berpengaruh
terhadap mutu pendidikan. Sekarang dukungan orangtua menjadi salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam kajian tentang
sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua siswa dan masyarakat
menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.
Hasil lima kajian tentang sekolah efektif menjelaskan
tentang faktor-faktor dalam sekolah efektif dapat dijelaskan dalam tabel
berikut:
Tabel 1 Hasil Lima Studi Tentang Sekolah Efektif
Purkey & Smith,
1983
|
Levine & Lezotte, 1990
|
Scheerens,
1992
|
Cotton,
1995
|
Sammons, Hillman & Mortimore, 1995
|
·
Strong leadership
|
·
Outstanding leadership
|
·
Educational leadership
|
·
School management and organization, leadership and school inprovement,
leadership and planning
|
·
Professional leadership
|
·
Clear goals on basic skills
|
·
Focus on central learning skills
|
·
-
|
·
Planning and learning goals and school-wide emphasis on learning
|
·
Concentration on teaching and learning
|
·
Orderly climate, achievement-oriented policy, cooperative atmosphere
|
·
Productive climate and culture
|
·
Pressure to achieve, consensus, cooperative planning, orderly atmosphere
|
·
Planning and learning goals, curriculum planning and development
|
·
Shared vision and goals, a learning environment, positive reinforcement
|
·
High expectations
|
·
High expectations
|
·
-
|
·
Strong teacher-student interaction
|
·
High expectation
|
·
Frequent evaluation
|
·
Appropriate monitoring
|
·
Evaluative potential of the school, monitoring of pupil progress
|
·
Assessment (district, school, classroom level)
|
·
Monitoring progress
|
·
Time on task, reinforcement, streaming
|
·
Effective instructional arrangements
|
·
Structured teaching, effective learning time, opportunity to learn
|
·
Classroom management, organization and instruction
|
·
Purposeful teaching
|
·
In-service training/ staff development
|
·
Practice-oriented staff development
|
·
-
|
·
Professional development and collegial learning
|
·
A learning organization
|
·
-
|
·
Slient parental involvement
|
·
Parent support
|
·
Parent-community involvement
|
·
Home-school partnership
|
·
-
|
·
-
|
·
External stimuli to make schools effective
· Phisical and material school characteristics · Teacher experience · School context characteristics |
·
Distinct school interactions
· Equity · Special programmes |
·
Pupil rights and responsibilities
|
Sumber: EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66
Tabel tersebut menjelaskan bahwa salah satu faktor
sekolah efektif dikenal sebagai ‘keterlibatan orangtua’, ‘dukungan orangtua’,
‘keterlibatan orangtua-msyarakat’, atau ‘hubungan keluarga-sekolah’. Dari
beberapa faktor sekolah efektif tersebut, hasil studi di negara maju
menunjukkan adanya lima faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas
suatu sekolah (EFA Global Monitoring Report 2005, hal. 66), yaitu:
- strong eduational leadership -> terkait dengan pendidik dan tenaga kependidikan (masukan);
- emphasis on acquiring basic skills -> terkait dengan kurikulum (masukan;
- an orderly and secure environment -> terkait dengan konteks (lingkungan);
- high expectations of pupil attainment -> terkait dengan peserta didik (masukan kasar);
- frequent assessment of pupil progress -> terkait dengan proses belajar-mengajar (proses).
Apabila dikaitkan antara kelima faktor sekolah efektif
tersebu dengan lima dimensi mutu pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya,
tampak nyata bahwa kelima faktor tersebut dalam tulisan ini juga dikenal
sebagai dimensi-dimensi
mutu pendidikan. Dengan kata lain, dapat disebutkan
bahwa sekolah efektif tidak lain dan tidak bukan adalah juga sebutan untuk
pendidikan yang bermutu. Sudah tentu juga ditambah dengan faktor-faktor sekolah
efektif lainnya, termasuk peran dan dukungan orangtua dan masyarakat, yang
diwadahi dalam lembaga yang dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan di muka, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1)
mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang saling terkait, (2) lima dimensi
mutu pendidikan pada hakikatnya juga merupakan faktor-faktor yang membentuk
sekolah efektif, (3) sekolah yang efektif, dengan kata lain, dapat disebut
sebagai sekolah yang bermutu, (3) dukungan orangtua dan masyarakat terhadap
upaya peningkatan mutu pendidikan disalurkan melalui wadah lembaga sosial yang
kini dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Comments
Post a Comment