Budaya politik merupakan pola
perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan
administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya.
Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu
masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat
seluruhnya.
Pengertian Budaya Politik Menurut
Para Ahli
Terdapat
banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga
terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila
diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut
tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu
yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik
tentang budaya politik.
1. Rusadi Sumintapura
Budaya politik
tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
2. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol
ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan
politik dilakukan.
3. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan,
emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan
isu-isu politik.
4. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan
pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola
orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
5. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang
berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang
terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
6. Samuel Beer, budaya politik
adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaiman
pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan
oleh pemerintah.
7. Mochtar Masud dan Colin McAndrews, budaya politik
adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan
negara dan politiknya.
8. Larry Diamond, budaya politik
adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu
masyarakat tentang sistem politik negara mereka dan peran masing-masing
individu dalam sistem itu.
Tipe-tipe Budaya politik
1. Budaya politik parokial yaitu budaya
politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik
suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka
terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak
memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya
politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat
pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang
bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya
merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis
atau religius.
2. Budaya politik kaula (subjek),yaitu
budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik
sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu
masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang
tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau
terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan
kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek
menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada
otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan
melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan
politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik
secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
3. Budaya politik partisipan,yaitu
budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi.
Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan
juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah
memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik.
Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum,
tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan
berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat
cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di
atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja
bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di
Indonesia
Sejak
negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi
saat ini dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia,
negara kita dalam menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan demokrasi
dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Repubik Indonesia I (1945-1959) atau
yang lebih dikenal dengan era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer.
Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan
era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik Indonesia III
(1965-1998) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi
Pancasila. Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa
Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era
Reformasi.
Perkembangan
demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari setiap masa ke masa.
Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi pula stabilitas sistem politik
Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya
suatu rezim yang sedang atau telah berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja
yang dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan ketatanegaraan. Dalam kajian
ini adalah terkait dengan kehidupan politiknya. Ada dua kerangka kerja yang
sering digunakan oleh para pengamat politik untuk melihat bagaimana kinerja
sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat penting sistem politik
adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem politik lainnya, seperti
organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja tersebut adalah pendekatan
struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik. Dengan pendekatan
struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana struktur-struktur maupun
fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja. Sedangkan dengan
pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana perilaku aktor-aktor
politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh negara
masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya (Budi Winarno,
2008: 18).
Karena
pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di negara kita ini, maka
dalam tulisan kali ini saya akan mencoba sedikit mengulas mengenai
perkembangan sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi Parlementer,
era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah
era Reformasi dengan menggunakan kerangka kerja pendekatan budaya politik.
1. Era Demokrasi Parlementer
(1945-1950)
Budaya
politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan
tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan
anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan.
Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya
menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik
yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan
pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya
keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat
yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh
pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Para
elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih
nampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu
terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana
keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators
memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite
mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada
tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya politik
yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya
paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda
secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya
melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani
kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi
pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai
Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya
politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat
primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai
periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No. 7
Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik
memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan
tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi
Terpimpin. Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan
politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain
itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit
politiknya. Adanya sifat kharismatik dan paternalistik yang tumbuh di
kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari
pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan
demikian muncul dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak
dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari
gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai
arena politik.
Pengaturan
soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini
bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok
atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak
setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 197).
Dari
masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan
kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada. Namun,
saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input
yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output yang
berupa output simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya
menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa
tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan
menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari
rezim.
3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun
1966-1998)
Gaya
politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai
ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik
dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran
tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition)
antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan
perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006:
200).
Sementara
itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan
dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi
dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek
mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan
di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur
ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang
bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu
birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern
adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari
penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada
era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan dibuat
oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan
otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya
sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya
diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di
masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak
terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil
society terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik
adalah :
4. Era Reformasi (Tahun
1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada
era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada
kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah
membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun
struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari
era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut
Karl D. Jackson dalam Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran
yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di
Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola
hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu
yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di
kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008)
mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih
mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia
melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para
pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya
dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dengan
menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status
dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan
sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya
politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di
kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa
mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik,
akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih
memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang
berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden dalam Budi
Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya
politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
a. Orientasi
Terhadap kekuasaan
b. Misalnya
saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat
dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih
bersifat pragmatis.
c. Politik
mikro vs politik makro
d. Politik
Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada
hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar
kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan
dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial
seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society,
dsb.
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan
demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial,
berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan
pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno (2008)
karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan
fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi
pendirian sistem politik tersebut.
|
Comments
Post a Comment